my blog's

Minggu, 13 Mei 2012

santri abangan priyayi


ABANGAN, SANTRI, PRIYAYI
Dalam Masyarakat Jawa
Oleh Clifford Geertz
Mojokuto, kota kecil di bagian Jawa Timur yang menjadi tempat penelitian atau studi oleh Clifford Geertz merupakan daerah yang subur dan dekat dengan gunung berapi. Masyarakat Jawa di Mojokuto dilihatnya sebagai suatu sistem sosial, dengan kebudayaan jawanya yang akulturatif dan agamanya yang sinkretik, yang terdiri atas tiga sub kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur-struktur sosial yang berlainan. Struktur-struktur sosial yang di maksud adalah Abangan (yang intinya berpusat di pedesaan), Santri (yang intinya berpusat di tempat perdagangan atau pasar), Priyayi (yang intinya berpusat di kantor pemerintahan di kota). Adanya tiga sruktur sosial yang berlainan ini menunjukkan bahwa di balik kesan yang di dapat dari pernyataan bahwa penduduk mojokuto itu Sembilan puluh persen beragama islam, sesungguhnya terdapat variasi dalam system kepercayaan, nilai dan upacara yang berkaitan dengan masing-masing struktur sosial tersebut.
Ada dua jawatan pemerintah yang utama di Mojokuto, karena kota itu sekaligus merupakan kota kawedanan dan kecamatan. Kecamatan, tingkat terbawah yang bisa di jangkau oleh birokrasi nasional yang seluruhnya diangkat memerintah 18 desa, semuanya terletah dalam jarak 15 km dari kota. Kawedanan memerintah 5 kecamatan yang berdampingan termasuk kecamatan Mojokuto sendiri. Selanjutnya kawedanan itu berada di bawah pemerintah daerah (kabupaten), yang ibukotanya ialah Bragang.
Lima jenis mata pencaharian utama yaitu petani, pedagang kecil, pekerja tangan yang bebas, buruh kasar, dan pegawai, guru atau adsministratur, mewakili penduduk Jawa asli di Mojokuto dikelompokkan menurut kegiatan konomi mereka.
Di tiga lingkungan yang berbeda itu seperti pedesaan, kantor, dan kantor pemerintahan yang dibarengengi dengan latar belakang sejarah kebudayaan yang berbeda seperti yang berkaitan dengan masuknya agama serta peradaban dan hindu di jawa. Dan telah mewujudkan adanya : Abangan yaitu yang menekankan pentingnya aspek-aspek animistik, Santri yaitu yang menekankan aspek-aspek islam dan Priyayi yaitu yang menekankan aspek-aspek Hindu.
Abangan, Santri dan priyayi yang walaupun masing-masing merupakan sruktur-sruktur sosial yang berlainan tetapi masing-masing saling melengkapi satu sama lainnya dalam mewujudkan adanya sistem sosial Jawa yg berlaku umum di Mojokuto.
Agama bukan hanya memainkan peranan bagi terwujudnya integrasi, tetapi juga memainkan peranan memecah belah dalam masyarakat. Orang Jawa saling menjalin hubungan yang menjadi suatu jaringan kompleks dan bercabang-cabang serta terjalin dengan bagus sekali dan menelusupi celah-celah kecil kehidupan pribumi. Kehidupan perdagangan pribumi adalah pasar, dimana setiap hari ratusan pedagang dan spekulan Jawa baik professional maupun semi professional, laki-laki maupun perempuan tawar menawar dengan sengit dalam suatu usaha mati-matian untuk memperoleh nafkah hidup secara antar pribadi.
Tiga tipe kebudayaan ini adalah Abangan, santri, dan priyayi. Tradisi keagamaan Abangan yang terutama sekali terdiri dari pesta keupacaraan yang di sebut Slametan, kepercayaan yang kompleks dan rumit terhadap mahluk halus, dan seluruh rangkaian teori dan praktek pengobatan, sihir dan magi adalah subvarian pertama dalam system keagamaan orang jawa yang umum.
Islam yang lebih murni ini merupakan subtradisi yang disebut Santri, yang tidak saja terdiri dari pelaksanaan yang cermat dan teratur atas pokok peribadatan Islam seperti sembahyang, puasa, haji, tetapi juga suatu keseluruhan yang kompleks dari organisasi sosial, kedermawanan dan politik Islam.
Priyayi asal mulanya hanya diistilahkan bagi kalangan aristokrasi turun temurun yang oleh Belanda dicomot dengan mudah dari raja-raja pribumi yang ditaklukkan untuk kemudian diangkat sebagai pejabat sipil yang digaji. Elit pegawai ini, yang ujung akar-akarnya terletak pada kraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara dan mengembangkan etiket kraton yang sangat halus, kesenian yang sangat komleks dalam tarian, sandiwara, music, dan sastra, dan mistisme Hindu-Budhas. Mereka tidak menekankan pada elemen animistis dari sinkretisme Jawa yang serba melingkupi seperti kaum Abangan, tidak pula menekankan pada elemen Islam sebagaimana kaum Santri, tetapi menitikberatkan pada elemen Hinduisme.
Akibatnya kultur kraton yang tradisional makin diperlemah. Sekalipun demikian, varian Priyayi tidak saja tetap kuat bertahan di kalangan anasir masyarakat yang lebih konservatif, tetapi juga memainkan peranan dalam membentuk pandangan dunia, etika dan tingkah laku sosial anasir yang bahkan paling diperbarat dalam kelompok pegawai yang masih dominan itu. Sopan santun yang halus, seni tinggi, dan mistisme intuitif masih tinggal sebagai karakteristik utama elit jawa. Dan sekalipun sudah makin menipis dan mengalami penyesuaian dengan keadaan yang sudah berubah, gaya hidup Priyayi masih tetap jadi model tidak saja untuk kalangan elit tapi dengan berbagai jalan juga menjadi model bagi seluruh masyarakat.
Abangan, yang mewakili suatu titik berat pada aspek animistis dari sinkretisme jawa yang melingkupi semuanya, dan secara luas dihubungkan dengan elemen petani. Santri yang mewakili suatu titik berat pada aspek Islam dari sinkretisme itu dan umumnya dihubungkan dengan elemen dagang dan priyayi, yang menekankan pada aspek-aspek Hindu dan dihubungkan dengan elemen demokratik semuanya ini. Semuanya itu bukanlah jenis yang diada-adakan, tetapi merupakan istilah dan penggolongan yang diterapkan oleh orang jawa sendiri. Ketiganya memberikan indikasi tentang cara orang Jawa di Mojokuto sendiri memahami situasi.
Pertama-tama kalangan abangan benar-benar tidak acuh terhadap doktrin, terpesona oleh detail keupacaraan, sementara di kalangan santri perhatian terhadap doktrin hamper seluruhnya mengalahkan aspek ritual Islam yang telah menipis. Seorang abangan tahu kapan harus menyelenggarakan slametan dan apa yang harus jadi hidangan pokoknya, bubur untuk kelahiran, apem untuk kematian.
Untuk kalangan santri, peribadatan pokok adalah penting juga, khususnya sembahyang, yang pelaksanaannya secara sadar dianggap baik oleh kalangan santri maupun non santri sebagai tanda yang istimewa seorang yang benar-benar santri. Tetapi hal itu tidak begitu banyak dipikirkan. Peribadatan itu, dalam keadaan apa pun, sederhana saja. Yang menjadi perhatian kalangan santri adalah doktrin Islam, terutama sekali penafsiran moral dan sosialnya.
Tetapi bahkan di pedesaan, seorang santri berbeda dari seorang abangan tidak saja dalam pernyataannya sendiri bahwa secara keagamaan ia lebih tinggi dari yang terakhir itu, tetapi juga dalam realisasinya, betapapun kaburnya, bahwa dalam Islam yang menjadi masalah keagamaan yang utama adalah doktrin dan dalam setiap hal santri pedesaan selalu mengikuti kepemimpinan kota.
Perbedaan kedua yang jelas antara varian keagamaan abangan dan santri terletak dalam masalah organisasi sosial mereka. Untuk kalangan abangan unit sosial yang paling dasar tempat hampir semua upacara berlangsung adalah rumah tangga. Seorang pria, istrinya dan anak-anaknya. Adalah rumah tangga ini yang mengadakan slametan, dan para kepala rumah tangga jugalah yang datang mengikuti slametan itu, untuk kemudian membawa pulang sebagian makanan bagi anggota keluarganya yang lain.
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kehidupan masyarakat Mojokuto terdapat tiga varian keagamaan yang tercakup dalam struktur sosial yang sama dan memegang banyak nilai yang sama. Dalam masyarakat Mojokuto, agama tidak hanya memainkan peranan yang intergratif dan menciptakan harmoni sosial saja dalam masyarakat, tapi juga peranan memecah, dan dengan begitu mencerminkan perimbangan antara kekuatan integrative dan desintegratif yang ada dalam tiap system sosial.
Pengamatan Geertz tentang Mojokuto terkait profesi penduduk setempat, penggolongan penduduk menurut pandangan masyarakat Mojokuto berdasarkan kepercayaan, preferensi etnis dan pandangan politik, dan ditemukannya tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe kebudayaan: abangan, santri dan priyayi. Struktur sosial desa biasanya diasosiasikan kepada para petani, pengrajin dan buruh kecil- yang penuh dengan tradisi animisme upacara slametan, kepercayaan terhadap makhluk halus, tradisi pengobatan, sihir dan magis menunjuk kepada seluruh tradisi keagamaan abangan. Sementara pasar terlepas dari penguasaan etnis Cina yang tidak menjadi pengamatan Geertz- diasosiasikan kepada petani kaya dan pedagang besar dari kelompok Islam berdasarkan kondisi historis dan sosial di mana agama Timur Tengah berkembang melalui perdagangan dan kenyataan yang menguasai ekonomi Mojokuto adalah mereka memunculkan subvarian keagamaan santri. Yang terakhir adalah subvarian priyayi. Varian ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan dari tradisi Keraton Hindu-Jawa. Sebagaimana halnya Keraton (simbol pemerintahan birokratis), maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi, dan mistisisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya.
Geertz mencoba menyimpang dari tradisi antropologi sebelum itu yang memberi perhatian utama kepada kelompok suku, atau permukiman di sebuah pulau terpencil, komunitas kecil petani atau penggembala, atau suku-suku terasing yang cenderung menghilang. Mojokuto dipilih untuk memberikan kontras
terhadap kecenderungan tersebut, karena kota kecil itu mempunyai penduduk yang melek huruf, dengan tradisi yang tua, urban, sama sekali tidak homogen serta sadar dan aktif secara politik.
Di sana tampak jelas kebudayaan bukanlah sesuatu yang serba utuh dan padu, melainkan penuh variasi dan diferensiasi yang sangat jauh dari pengertian kebudayaan sebagai kesatuan pola tingkah laku yang terdapat pada suatu kelompok orang, suatu definisi yang oleh Geertz dianggap lapidar tetapi tidak realistis.
Clifford Geertz, mempelajari dan memaknai perbedaan budaya lewat penelitian dengan menggunakan metodologi etnographi yang mendasarkan pada data – data hasil penelitian dari budaya, masyarakat, dan komunitas – komunitas tertentu. wilayah yang akan dikaji tersebut biasanya menghabiskan waktu setahun atau lebih, para peneliti diharuskan untuk hidup berdampingan dengan para penduduk lokal yang menjadi objek kajiannya dan mereka harus mempelajari mengenai kehidupan mereka. peneliti etnographi merupakan seorang peneliti partisipan/partisipatoris. mereka harus mengambil bagian atau menjadi bagian dari objek kajian mereka dan hal itu harus dipelajari karena hal ini akan banyak membantu untuk memahami perilaku dan pola pikir dari warga atau penduduk lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar