my blog's

Minggu, 13 Mei 2012

Faktor dan Syarat Menggunakan Takwil Dalam Memahami Al-Qur’an


Faktor dan Syarat Menggunakan Takwil Dalam Memahami Al-Qur’an
Dalam Perspektif Muhammad Imarah

Wisnu Wahyudin

4715101543


 




A.PENDAHULUAN
Al-Qur’an sebagai kitab suci serta sebagai pedoman bagi umat Islam menjadi sumber utama dan rujukan dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang mendera kaum muslimin. Oleh karena itu, banyak orang yang mempelajari dan menelaah secara mendalam untuk memahami isi Al-Qur’an tersebut. Banyak orang yang terkecoh pada saat memaknai suatu ayat, yang seharusnya memiliki makna kontekstual dijadikan sebagai ayat yang bersifat tekstual, begitu juga sebaliknya. Bahkan banyak ayat yang masih menjadi tanda tanya bagi sebagian orang sehingga membutuhkan metode-meotde untuk menyingkap kandungan ayat tersebut, salah satunya adalah dengan menggunakan metode takwil. Namun tidak semua ayat harus ditakwil sebagai mana metode yang digunakan orang arab dalam memaknai bible (hermeneutika)[1]. Tidak sembarang orang bisa menakwilkan Al-Qur’an.
Dalam pembahasan kali ini, akan dijelaskan tentang Takwil, metode dan syarat serta factor menggunakan takwil dalam perspektif Muhammad Imarah seperti yang dipaparkan dalam kitab asli karangan Muhammad Imarah dalam kitab Al ghulu al Diin wala al Dii.
Pembahasan kali ini bertujuan agar pembaca dapat memahami factor dan syarat untuk menggunakan emtode takwil dan juga dapat membedakan antara metode takwil dengan hermeneutika.









B.PEMBAHASAN
1. PengertianTakwil
a.     Secarabahasa (etimologis)
Secaralughowi (etimologis) ta’wil berasal dari kata al-awl(أوّليؤوّل ), artinya kembali; atau dari kata al ma’al artinya tempat kembali; al- iyalah yang berarti al –siyasah yang berarti mengatur.
Muhammad husaya al-dzahabi , mengemukakan bahwa dalam pandangan ulama salaf (klasik), ta’wil memilki dua pengertian :
Pertama : penafsirkan suatu pembicaraan teks dan menerangkan maknanya, tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan apa yang tersurat atau tidak.
Kedua : ta’wil adalah substansi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan itu sendiri (nafs al- murad bi al-kalam). Jika pembicaraan itu berupa tuntutan , maka tak’wilnya adalah perbuatan yang dituntut itu sendiri. Dan jika pembicaraan itu berbentuk berita. Maka yang dimaksud adalah substansi dari suatu yang di informasikan.
Sedangkan pengertian Ta’wil, menurut sebagian ulama, sama dengan Tafsir. Namun ulama yang lain membedakannya, bahwa ta’wil adalah mengalihkan makna sebuah lafazh ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal [As-Suyuthi, 1979: I, 173]. Sehubungan dengan itu, Asy-Syathibi [t.t.: 100] mengharuskan adanya dua syarat untuk melakukan penta’wilan, yaitu:
Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya [tidak bertentangan dengan syara’/akal sehat],
Makna yang dipilih sudah dikenal di kalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Alquran].
b.     Secaraistilah (terminologi)
Secaraterminologi, Ulama Salaf mendefinisikan takwil sebagai berikut:
a.Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa[2]
“Sesungguhnya takwil itu dalah ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafazh zahir.”
b.Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa[3]
“Membawa makna lafazh zohir yang memunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”.
Kaum muhadditsin mendefinisikan takwil, sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh, yaitu:
Menurut Wahab Khalaf takwil yaitu “memalingkan lafazh dari zahirnya, karena adanya dalil.”
Menurut Abu Zahra takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zahir kepada makna yang lain, tetapi bukan zahirnya
Dari pengertian kedua istilah ini dapat disimpulkan, bahwa Tafsir adalah penjelasan terhadap makna lahiriah dari ayat Alquran yang penegrtiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki oleh Allah; sedangkan ta’wil adalah pengertian yang tersirat yang diistimbathkan dari ayat Alquran berdasarkan alasan-alasan tertentu.

2. MetodeTakwilDalamMemahami Al-Qur’an
a. Takwil dalam Al-Qur’an
Dalam al-Qur'an, takwil berarti penafsiran dengan mendapatkan esensi, hakikat, inti dan rujukan serta berbagai hasil. Metode analisa silam membedakan antara sifat yang mutlak dan nisbi. Yang mutlak adalah dzat Tuhan sedangkan manusia beserta sifat-sifatnya digolongkan nisbi. Dalam Islam, akal manusia dapat mengetahui yang esensi, inti, hasil ilmu dan pengetahuan serta mengetahui dunia yang empiris. Oleh karena itu, terbuka lebar bagi mereka yang memiliki pengetahuan untuk menakwilkan ayat-ayat Qur'an yang mutasyabih yang berhubungan dengan tanda-tanda, pengetahuan, hukum dunia nyata dan empiris. karena sebagian ayat-ayat mutasyabih dalam al-Qur'an dapat diketahui oleh mereka yang berilmu sedangkan sebagian yang lain tidak dapat diketahui, maka muncullah perbedaan antara mufassir mengenai ayat mutasyabihat. Sebagaimana Allah berfirmanpada ayat:
uqèdüÏ%©!$#tAtRr&y7øn=tã|=»tGÅ3ø9$#çm÷ZÏB×M»tƒ#uäìM»yJs3øtC£`èdPé&É=»tGÅ3ø9$#ãyzé&ur×M»ygÎ7»t±tFãB($¨Br'sùtûïÏ%©!$#ÎûóOÎgÎ/qè=è%Ô÷÷ƒytbqãèÎ6®KuŠsù$tBtmt7»t±s?çm÷ZÏBuä!$tóÏGö/$#ÏpuZ÷GÏÿø9$#uä!$tóÏGö/$#ur¾Ï&Î#ƒÍrù's?3$tBurãNn=÷ètƒÿ¼ã&s#ƒÍrù's?žwÎ)ª!$#3tbqãź§9$#urÎûÉOù=Ïèø9$#tbqä9qà)tƒ$¨ZtB#uä¾ÏmÎ/@@ä.ô`ÏiBÏZÏã$uZÎn/u3$tBur㍩.¤tƒHwÎ)(#qä9'ré&É=»t6ø9F{$#ÇÐÈ
7. Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaatAdapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.(QS. Ali ‘Imron [03] : 7)
b. Takwil Dalam Hadist
Dalam konteks sunnah Nabawiyah, ta’wil semakna dengan tafsir. Cukup banyak hadis Nabi yang ditakwilkan, diantaranya hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a berbunyi :


فلقد كان رسولالله صلى الله عليه وسلم في ركوعه وسجوده : سبحانك اللهم ربنا وبحمد ك . اللهم اغفرلي , يتأول القران اي يتأول ويفسرقول الله سبحانه : (فسبح بحمد ربك واستغفره) (النصر:3))رواه البخا رى وابوداود والنسائ وابن ماجه والامام احمد(

Sungguh Rasulullah saw menyebutkan dalam ruku‟ dan sujudnya: subha>naka alla humma rabbana wabihamdika alla hummagfirliy, beliau menta‟wil al-Qur‟an yakni mentakwilkan dan menafsirkan firman Allah swt yang termaktub dalam QS. An-Nashr: 3 (fasabbih bihamdi rabbika wastagfirhu). HR. Bukhari, Abu Daud, An-Nasai, Ibnu Majah dan Imam Ahmad.
c.      TakwilEtimoligatif
Sebagai perluasan makna terminologi takwil dalam al-Qur'an dan hadis, beberapa makna takwil muncul dalam kamus. Dalam Lisan al-Arab oleh Ibn Manzur (630-711 H/ 1233-1311 M), kita temukan takwil diartikan dengan mengetahui sumber dan hasil. Kalimat yang tidak dapat dipahami secara tekstual memerlukan dalil yang dapat membuka makna tersirat di atas makna tersurat teks tersebut. Takwil adalah memindah makna lahiriyah teks dari makna asli kepada makna yang membutuhkan dalil yang seandainya tidak ada dalil tersebut, maka makna lahiryah teks tidak akan ditinggalkan.
d.     Takwil Terminologitatif
Takwil secara terminologi menurut Raghib al-Ashfahani(502 H/1108 M) adalah kembali ke asal dan mengembalikan sesuatu pada tujuan akhir yang diinginkan, baik pengetahuan atau pun perbuatan. Dan contoh Ta‟wil dalam bentuk pengetahuan adalah firman Allah “wama yalamu tawilahu illallah warrasikhuna fil ilmi.
Sedangkan ta‟wil secara terminologi menurut Al-Jurjani (740-817 H/1077-1143 M) menyebutkan bahwa ta‟wil adalah memalingkan lafaz dari makna zhahir kepada makna yang muhtamal (potensi makna lain) apabila makna muhtamal ini tidak berlawanan dengan al-Qur‟an dan al-Hadits. Misalnya dalam firman Allah QS Al-An‟am ayat 95:
Dari segi tafsir makna ayat ini adalah Jika Allah berkehendak, maka Ia mengeluarkan burung dari dalam telur.Sedangkan dari segi ta‟wilnya, maka maknanya: Jika Allah menghendaki, maka Ia mengeluarkan orang-orang mukmin dari orang-orang kafir atau mengeluarkan orang-orang „alim dari orang-orang bodoh.
Sedangkan takwil dalam perspektif Tahawuni secara etimologi berarti kembali. Dan pandangan ahli Ushul, sebagian menyatakan sama dengan tafsir. Sebagian lain mengatakan takwil adalah masih dalam taraf dugaan, sedangkan tafsir dalam taraf keyakinan.
Para ulama yang telah membuat beberapa ensiklopedi dalam berbagai terminologi Islam telah menetapkan bahwa takwil yang benar memiliki beberapa syarat, yakni makna yang makna teks harus masih memungkinkan bermakna lain, sesuai dengan logika pembentukan bahasa, sesuai dengan ayat-ayat muhkam dan hadis mutawatir, bahwa takwil hanyalah sebuah upaya di bawah maksud penulis, mengalihkan lafal kepada makna yang terkalahkan menggantikan makna yang unggul disyaratkan adanya dalil yang menguatkan makna terkalahkan, bahwa takwil harus terus mengikuti lingkup makna yang dikandung lafal. Takwil adalah mengarahkan kata kepada salah satu makna yang dimuat terkandung dalam lafal. Selain itu, mereka juga mensyaratkan keilmuan yang menyeluruh bagi mereka yang menakwilkan.

e.     Dalam penafsiran Al-Qur’an
Takwil tidak diterapkan pada ayat muhkam, baik Qur'an dan sunnah. Sedangkan ayat dan hadis yang masih mutasyabih masih terdapat perbedaan, yang dikembalikan kepada dasar-dasar yang pasti.
Para mufassir telah memaparkan penakwilan mereka. Mereka hampir sepakat akan kebolehan takwil bagi mereka yang mengetahui teks ternukil dan teks ternalar. Dan bahwa sebagian ayat-ayat mutasyabih hanya dapat diketahui maksudnya oleh Allah. pengetahuan orang-orang yang berilmu hanyalah dinisbatkan pada maksud tersebut. Sebagian ayat-ayat mutasyabih yang berhubungan dengan alam, ayat-ayat kauniyah, pensyarai'atan dan hukum syari'at dapat diketahui oleh orang-orang yang berilmu melalui kata-kata yang diberikan Allah dalam ayat-ayat mutasyabih dan berbagai petunjuk yang terdapat dalam ayat muhkamat.
Yang dimaksud mutasyabih di sini adalah hal-hal yang diinginkan yang diisyaratkan Allah mencakup masalah-masalah akhirat dan lafal-lafal makna lahirnya berbeda dengan makna yang dimaksud. Keberadaan mutasyabih pada masalah akhirat dalam al-Qur'an tidak dapat dipungkiri, karena di antara rukun agama dan tujuan wahyu adalah mengkhabarkan keberadaan akhirat. Penakwilan yang banyak dilakukan mencakup lafal-lafal yang makna lahirnya berbeda dengan yang dimaksudkan.
Yang dimaksud orang yang berilmu di sini adalah orang-orang yang mengetahui sampai ke akar permasalahan dan dapat menempatkan penakwilan dengan baik.

3. Faktor Penyebab Takwil Diperlukan
                Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam, didalamnya terdapat ayat-ayat muhkamat yang perlu dimaknai secara tekstual dan juga terdapat ayat-ayat mutasyabihaat. Berikut adalah perbedaan antara ayat muhkamat dan mutasayabihat :
1.     ayat-ayat muhkamat, yakni maknanya jelas atau tegas. Disebut juga bermakna lahir yaitu jelas menunjukkan ke suatu pengertian tertentu dan tidak mengundang keraguan. Jadi tidak dibutuhkan takwil atau pun penafsiran untuk memahaminya, sebab sudah cukup jelas makna dan tujuannya.
2.     ayat-ayat mutasyabihat, yakni maknanya samar atau tidak jelas. Disebut juga bermakna batin, ialah apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firmannya. Makna ayat mutasyabihat seringkah tidak dapat dipahami secara pasti oleh akal manusia, sehingga sering disalahgunakan oleh orang-orang tertentu untuk mencari keuntungan pribadi. Bahkan oleh musuh-musuh Islam, ayat-ayat ini dipakai untuk memutar-balikkan atau merusak ajaran Islam yang sebenarnya.

Hikmah diturunkannya ayat-ayat mutasyabihat (antara lain AlifLaam Miim) salah satu bukti bahwa Al-Qur’an ini bukan karya Nabi Muhammad saw. Dan ayat-ayat mutasyabihat ini memang sebagai tolok ukur kedalaman keimanan seseorang.
Faktor tersebutlah yang melatarbelakangi tidaks emua ayat di dalam Al-Qur’an dapat kitamaknai secara lafdziah saja, tetapi ada juga ayat-ayat yang perlu ditakwil artinya.

4.  Syarat Dan Aturan MengguanakanTakwil
Imam Ghazali(450-505 H/1058-1111 M) adalah orang pertama yang membuat aturan pasti dan terperinci bagi takwil dalam Islam. Ia mengungkapkan posisi mayoritas filosof dan teolog Islam terhadap takwil, tanpa mengecualikan antara golongan batiniah ataupun zahiriyah. Berikut pemaparan al-Gazali:
1.     Tidak ada tokoh Islam yang tidak memerlukan takwil, hingga mereka yang tidak menekuni analisa secara rasional, seperti Ahmad bin Hambal yang telah menakwilkan tiga Hadits saja. Diantaranya :
2.     Tidaklah mudah membedakan sesuatu yang dapat ditakwilkan dan yang tidak dapat ditakwilkan, bahkan hanya dapat dilakukan oleh orang yang mahir, cemerlang dalam ilmu bahasa, mengetahui dasar-dasar bahasa, tradisi orang Arab dalam penggunaan bahasa serta metode dalam membuat perumpaan.
3.     Beberapa kelompok Islam telah sepakat bahwa penakwilan hanya diperbolehkan ketika memiliki dalil akan kemustahilan menggunakan makna lahir. Makna lahiriyah pertama adalah makna asli.
4.     Mereka sepakat bahwa jika dalil tersebut telah pasti, maka diberikan keringanan diberikan untuk penakwilan, meskipun menggunakan makna jauh. Jika belum pasti maka tidak diberikan keringanan kecuali hanya pada penakwilan makna dekat yang memudahkan pemahaman.
5.     mereka sepakat bahwa tingkatan yang diterima hanya lima, yaitu wujud dzati, hissi, khayali, aqliy, syibhi, yang menjadi tingkatan dalam penakwilan.
6.     Para penakwil dikelompokkan menjadi dua tingkat. Tingkatan awam dan tingkatan analis.
7.     Mereka yang menakwilkan tanpa dalil dalam masing-masing tingkatan belum tentu dianggap kufur. Tergantung apakah penakwilannya berkaitan dengan permasalahan akidah atau tidak. Dan akan dianggap kafir ketika berkaitan dengan masalah akidah.
8.     Sebuah makna yang bertentangan terkadang bertentangan dengan makna mutawatir dan dianggap sebagai makna yang ditakwilkan, akan tetapi disebutkan sebagai sebuah penakwilan yang tidak memiliki dasar bahasa, maka dianggap kufur dan orang yang melakukannya berdosa, meskipun ia menyangka bahwa makna itu adalah makna yang ditakwilkan.
9.     Jika seseorang mengingkari makna yang ditetapkan berdasarkan hadis ahad, maka tidaklah dianggap kafir. Jika ditetapkan berdasarkan ijma', maka dipertimbangkan terelbih dahulu.
Sedangkan Ibn Rusyd menekankan bahwa takwil diperbolehkan dalam sebagian teks-teks syara'. Bagi Ibn Rusyd, yang dimaksud takwil yang dilakukan berdasarkan ketentuan takwil Arab adalah menggabungkan antara makna yang ternalar dan makna ternukil, bukan menempatkan makna ternalar menggantikan makna ternukil. Pendapat Ibn Rusyd tentang takwil secara ringkas adalah sebagai berikut[4] :
1. Takwil diperbolehkan
2. Hanya pada makna yang memiliki dalil kemustahilan penggunaan makna lahir.
3. Sesuai dengan persyaratan majaz, yang mengeluarkan petunjuk makna kata-kata dari hakikat menjadi majaz.
4. Tidak ada kesepakatan ijma' yang diyakini bahwa yang dimaksudkanadalah makna lahiriyah.
5. adanya dukungan petunjuk makna lahiriyah dari beberapa teks yang menguatkan penakwilan
6. Bertujuan menggabungkan antara yang ternalar dan ternukil, bukan membenturkan keduanya, melampaui salah satu ataupun menafikannya.
7.Takwil berlaku hanya untuk kalangan khusus yang berilmu. Tidak diperbolehkan bagi kalangan umum. Tidak boleh dituliskan dalam buku-buku umum, kecuali jika penakwilannya telah benar-benar valid memenuhi syara-syarat dan ketentuan takwil.
8. Tentang alam gaib, mukjizat, dasar-dasar syari'ah, dan segala yang tidak mampu diketahui hanya dengan akal manusia untuk dapat mengetahui essensinya. Ibn Rusyd mengharuskan mengambil makna lahiriyah, tidak ditakwilkan.
9. Berita tentang yang gaib dan dasar-dasar syari'ah serta mukjizat tidak boleh ditakwilkan, meskipun oleh para filosof.
Para ulama setelah mereka ketika menggunakan takwil ketakwaannya menjadi berkurang, banyak bertentangan, semakin terpisah-pisah, itu adalah suatu kesalahan. Takwil seharusnya memperkuat keimanan bukan sebaliknya..

5. Pendapat M ‘ImarahTentangPemahaman Al-Qur’an denganTakwil
Musthafa Al-Kaylani menjelaskan proses perjalanan transformasi dalam sejarah perjalanan takwil:
“dahulu takwil pada awalnya sangat kental bernuansa gramatikal, sebatas penjelasan lafadz dan susunan kalimat yang abru sambil tetap menjaga maknanya yang cocok untuk setiap zaman, sedangkan dalam peradaban barat modern, telah jauh merasuk ke dalam metaphor (majaz)”[5]
Banyak para ilmuan muslim dan mufassirin yang beranggapan bahwa metode takwil yang digunakan didalam Al-Qur’an untuk memahami isi Al-Qur’an sama dengan metode hermeneutika yang digunakan oleh orang-orang barat untuk memahami bible. Muhammad Imarah membedakan takwil dengan hermeneutikia sebagai berikut[6] :
1.                             Takwil mengakui dan tunduk kepada kesucian teks dan keilahian sumbernya, sedangkan hermeneutika memperlakukian teks sebagai murni fenomena bahasa dan tidak mengakui kesucian yang menuntut untuk diperlakukan khusus
2.                             Takwil mengakui jenis tingkatan lafadz, (ada yang bisa menerima takwil / zhahir dan ada yang tidak bias menerima takwil / lahir ), sedangkan hermeneutika barat memukul rata semua jenis teks dengan memisahkan mana yang menjadi makna tanda / signifier dan mana yang menjadi makna tujuan / significance
3.                             Takwil membutuhkan dalil yang mengharuskan suatu lafadz ditakwil dan makna baru tersebut masih bias diterima oleh lafazh zhahirnya, sedangkan hermeneutika adalah perpindahan makna orientasi dari makna ke pemahaman. Pehaman adalah apa yang diinginkan / dimaksud sipembaca bukan apa yang dimaksudkan oleh penulis dan pengarang. Pemahaman tidak pernah bersifat final karena selalu memperhatikan dimensi realitas kemanusiaan yang berubah-ubah sesuai dengan keinginan si pembaca.
4.                             Takwil adalah cara untuk mempertahankan norma keimanan terhadap dasar-dasar keyakinan beragama. Takwil bukan alat untuk membatalakan keimanan atau mengkosongkan teks agama dari ruh agama, bersebelahan dengan hermeneutika.
Jadi perbedaan antara takwil dengan hermeneutika sangatlah terlihat jelas pada pemaparan diatas, metode hermeneutika yang digunakan dalam memahami bible tidak cocok untuk digunakan didalam Al-Qur’an.
6. AnalisisKomparatif
            Tidak semua orang dapat menggunakan takwil. Dan takwil juga tidak bias diartikan sebagai main-main. hanya apabila telah memenuhi syaratlah yang dapat menggunakan takwil. Takwil berbeda dengan hermeneutika yang digunakan oleh orang barat modern.



C. PENUTUP
Kesimpulan
Dalam pembahasan diatas, dapat kita ketahui Al-Qur’ans ebagai petunjuk hidup umat Islam perlu untuk dipahami secara mendalam, salah satunya dalah menggunakan takwil. Ketika ada suatu lafazh yang apabila ditafsirkan masih terdapat kerancuan/kebingungan dalam memahami ayat, maka takwil bisa digunakan sebagai solusi untuk memalingkan suatu lafazh ke lafazh yang lainnya. Takwil berbeda dengan hermeneutika.
Saran
Tulisan ini sangat jauh dari kesempurnaan dan kebenaran. oleh karena itu perlu dikaji lagi secara mendalam khususnya dibagian perbedaan takwil dan hermeneutika secara mendetail.

Daftar Pustaka
M Immarah, maqoolah al-ghuluw ad diin wala al diin, maktabah syuruqidaulah Kairo : 2004
Saifullah dkk, Ulumul Qur'an, prodia pratama sejati : 2004
prof. Dr. Rachmat Syafe'i, M.A, Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia : 2007
Musthafa al-kaylan, Wujud al nash wan ash al wujud (dar al-tunisuyah li al nasyr, 1922)


[1] kairo : muktabah syuruq, 2004 hlm 55
[2] Lihat di Al-Ghazali, 1973:128
[3] Al-amidi, III/37, Asy Syaukani, hlm 126
[4] maqoolah al-ghuluw ad diin wala al diin, maktabah syuruqidaulah Kairo : 2004

[5] Wujud al nash wan ash al wujud (dar al-tunisuyah li al nasyr, 1922) hlm 34
[6] kairo : muktabah syuruq, 2004 hlm 55

6 komentar: