JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak mereka yang
hadir dalam acara buka puasa bersama di Istana Negara, Jumat (20/8/2010), dan
segenap masyarakat untuk refleksi mengenai kondisi bangsa dan negara Indonesia
belakangan ini. Salah satu caranya dengan memaparkan kelebihan yang sudah
dicapai dan kekurangan yang masih terjadi pada masa pemerintahannya.
"Kalau kita dengar berbagai pandangan dari dalam atau luar
negeri, maka sikap yang paling mulia adalah bersama melakukan introspeksi. Yang
sudah baik kita jaga dan kalau bisa kita tingkatkan lagi. Yang belum baik,
masih gagal, masih jadi PR, mari kita bersama-sama perbaiki," katanya
sesaat sebelum berbuka puasa bersama.
Merujuk kepada bermacam sumber, Presiden SBY mencatat, ada yang
mengatakan bahwa pencapaian Indonesia sampai saat ini adalah perubahan
mahabesar. Namun, ada pula yang menjelaskan bagian-bagian yang belum baik dan
berubah secara signifikan.
Presiden SBY mencatat, dunia melihat perkembangan demokrasi dan
kebebasan di Indonesia meski mungkin dalam negeri sendiri belum puas terhadap
demokrasi yang berkembang. Keberhasilan yang dicatat juga soal penghormatan
kepada HAM, keamanan dalam negeri yang makin pulih, kondisi politik yang makin
stabil meski banyak riak, ekonomi yang terus bertumbuh, kerukunan sosial yang
makin baik, serta peran internasional yang makin menguat.
Sementara itu, sejumlah kegagalan dan kekurangan yang masih
terjadi adalah kepastian hukum belum sepenuhnya terwujud, masih maraknya
korupsi, birokrasi yang dianggap belum mencerminkan good
governance, kerusakan lingkungan hidup, infrastruktur yang masih
kurang memadai, serta biaya politik yang masih tinggi, terutama dalam pilkada.
Presiden SBY juga mencatat, gangguan terhadap kerukunan dan
toleransi serta sejumlah aksi kekerasan yang mengganggu keamanan dan ketertiban
publik masih kerap dijumpai. "Mari kita terima kritikan kepada kita untuk
kita lakukan perbaikan dengan sungguh-sungguh," tegasnya.
KKNSemua orang pasti tahu bahwa penyakit terparah negeri ini adalah budaya
korupsi, suap, dan kolusi. Koran Singapura The Straits Times sekali waktu
pernah menjuluki Indonesia sebagai the envelope country, karena segala hal bisa
dibeli, entah itu lisensi, tender, wartawan, hakim, jaksa, polisi, petugas
pajak atau yang lain. Pendek kata segala urusan semua bisa lancar bila ada
“amplop”.
Hasil survei
terbaru Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menempatkan Indonesia
sebagai negara terkorup dari 16 negara se Asia Pasifik. Indonesia terkorup
dengan skor 8,32 atau lebih buruk jika dibandingkan dengan Thailand (7,63).
Sedangkan negara yang paling bersih dari korupsi adalah Singapura dengan skor
1,07.
Ini tentu
saja sebuah ironi. Bukankah negeri ini adalah negeri dengan populasi muslim
terbesar di dunia? Tetapi mengapa justru menjadi negeri yang paling korup?
Bukankah pula ajaran Islam melarang dengan keras dan bahkan mengutuk perbuatan
korupsi, suap, dan kolusi? Apakah umat Islam di negeri ini tidak mengetahui hal
itu?
“Dan
janganlah kamu makan harta diantara kamu dengan jalan batil, dan jangan pula
kamu serahkan harta itu sebagai suapan kepada para penguasa supaya kamu dapat
memakan sebagian harta dengan cara berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS
Al-Baqarah: 189)
“Hai
orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya (Muhammad)
dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan
kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal : 27).
Rasulullah
saw bersabda, “Barangsiapa yang kami pekerjakan pada suatu jabatan, kemudian
kami beri gaji, malahan yang diambilnya selebih dari itu, berarti suatu
penipuan.” (HR. Abu Dawud).
Dalam
riwayat Imam At-Turmudzi, Rasulullah saw bersabda, “Allah melaknat orang yang
menyuap dan menerima suap” (HR. Tirmidzi). Imam Ahmad dan Hakim juga meriwayatkan
hadits: “Rasulullah saw melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap, dan
yang menjadi perantara.”
Dalam hadits
riwayat Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud, diceritakan bahwa Rasulullah
saw pernah mengutus seorang pemungut zakat bernama Ibnul Atabiyah. Sang
pemungut zakat tersebut ternyata menerima pemberian harta dari orang yang ia
pungut zakatnya, lalu berkata kepada Rasulullah: ”Wahai Rasulullah, ini
untukmu, sedangkan yang ini hadiah mereka untukku.” Mendengar hal itu, wajah
Rasulullah pun memerah dan berkata dengan penuh kemarahan kepada sang pemungut
zakat: ” Tidak pantas seorang petugas yang kami utus datang dan berkata, “Ini
untuk Anda, sementara ini adalah hadiah yang diberikan untuk saya.” Mengapa ia
tidak duduk-duduk saja di rumah bapak dan ibunya, lalu memperhatikan, apakah ia
akan mendapatkan hadiah atau tidak?” Kemudian Rasulullah melanjutkan: ”Demi
Allah, siapa saja di antara kalian yang mengambil sesuatu yang bukan haknya,
niscaya nanti di hari Kiamat ia akan menghadap Allah sambil memikul apa yang
diambilnya di dunia. Demi Allah, aku tidak ingin melihat salah seorang di
antara kalian yang menghadap Allah dengan memikul unta, lembu atau kambing yang
mengembek.” Lalu Rasulullah mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putih kedua
ketiaknya sambil bersabda: ”Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikannya?”
Rasulullah
saw juga bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:
“Barangsiapa yang mengambil hak orang lain walaupun hanya sejengkal tanah, maka
akan dikalungkan di lehernya (pada hari Kiamat nanti) seberat tujuh lapis
bumi.”
Mencari
Solusi
Membicarakan
masalah memang penting. Tetapi yang lebih penting lagi adalah mencari
solusinya. Berikut ini beberapa solusi untuk menyembuhkan penyakit korupsi,
suap, kolusi, dan praktek mafia di negeri ini.
Pertama, memperkuat keimanan dan
budaya malu.
Bagaimanapun juga, keimanan adalah benteng terbaik untuk mencegah perbuatan
menipu. Karena orang yang imannya kuat takut terhadap adzab Allah dan merasa
senantiasa diawasi oleh Allah meski tidak ada manusia yang melihatnya. Adapun
rasa malu adalah bagian dari iman, yang tidak boleh hilang dari diri seorang
mukmin. Jika orang-orang Jepang yang notabene nonmuslim saja memiliki budaya
malu yang kuat, bagaimana mungkin kita di negeri ini yanbg mayoritas muslim
justru ’rai gedheg’, ’muka badak’, dan tidak punya rasa malu?
Kedua, sistem penggajian yang layak. Sebagai manusia biasa, para
pejabat/birokrat tentu memerlukan uang untuk mencukupi kebutuhan diri dan
keluarganya. Untuk itu, agar bisa bekerja dengan tenang dan tak tergoda untuk
berbuat curang, mereka harus diberi gaji dan fasilitas yang layak. Rasulullah
saw. Bersabda, ”Siapa yang bekerja untukku dalam keadaan tidak beristri,
hendaklah menikah; atau tidak memiliki pelayan, hendaklah mengambil pelayan;
atau tidak mempunyai rumah, hendaklah mengambil rumah; atau tidak mempunyai
tunggangan (kendaraan), hendaknya mengambil kendaraan. Siapa saja yang
mengambil selain itu, dia curang atau pencuri!” (HR Abu Dawud). Namun ini juga
bukan satu-satunya solusi, karena manusia itu cenderung untuk tidak pernah puas
hingga tanah menyumpal mulutnya (yakni mati). Kita lihat sendiri, betapa banyak
para pejabat yang gajinya sudah banyak tapi tetap saja melakukan korupsi.
Ketiga, pembuatan sistem, birokrasi,
dan hukum yang antikorupsi dan antikolusi, misalnya hukum yang melarang segala
bentuk pemberian suap ataupun hadiah (gratifikasi) kepada pejabat atau hakim. Rasulullah saw bersabda, “Hadiah
yang diberikan kepada para pejabat adalah suht (haram) dan suap yang diterima
hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad).
Keempat, penghitungan kekayaan
pejabat dan pembuktian terbalik. Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah
kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak selalu orang yang cepat kaya pasti
karena telah melakukan korupsi. Bisa saja ia mendapatkan semua kekayaannya itu
dari warisan, keberhasilan bisnis atau cara lain yang halal. Tapi perhitungan
kekayaan dan pembuktian terbalik sebagaimana telah dilakukan oleh Khalifah Umar
bin Khattab menjadi cara yang bagus untuk mencegah korupsi. Semasa menjadi
khalifah, Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir
jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan, diminta
membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal.
(Lihat: Thabaqât Ibn Sa’ad, Târîkh al-Khulafâ’ as-Suyuthi).
Kelima, hukuman yang berat. Tindak pidana korupsi termasuk
dalam kelompok tindak pidana takzir. Oleh sebab itu, penentuan hukuman, baik
jenis, bentuk dan jumlahnya diserahkan kepada pemerintah, dalam hal ini lembaga
hukum dan peradilan. Penentuan hukuman terhadap koruptor harus mengacu kepada
tujuan syarak (maqashid asy-syari’ah), kemaslahatan masyarakat, situasi dan
kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang koruptor, sehingga koruptor
akan jera melakukan korupsi, dan hukuman itu juga bisa menjadi tindakan
preventif bagi orang lain. Menurut Abdul Qodir Audah, Abdul Aziz Amir, dan
Ahmad Fathi Bahnasi, ketiganya pakar Hukum Pidana Islam, hukuman takzir bisa
berbentuk hukuman paling ringan, seperti menegur pelaku pidana, mencela atau
mempermalukan pelaku, dan bisa juga hukuman yang terberat, seperti hukuman
mati. Nah, kalau kita melihat praktek korupsi yang sudah begitu membudaya dan
mengakar di negeri kita ini, sudah selayaknya diberlakukan hukuman yang paling
berat agar bisa memberikan efek jera, dan bisa memutus budaya korupsi yang
sudah seperti lingkaran setan ini.
Keenam, penegakan hukum secara tegas
dan tanpa pandang bulu. Percuma saja hukum dibuat jika hanya untuk dilanggar. Bagaimana mungkin
di negeri ini pencuri seekor ayam dan bahkan satu buah semangka dihukum penjara
berbulan-bulan, sementara koruptor milyaran atau bahkan triliunan rupiah bisa
bebas dari jeratan hukum? Hukum baru bisa berfungsi sebagai hukum jika
diterapkan secara tegas dan tanpa pandang bulu. Rasulullah saw bersabda, “Wahai
manusia, ketahuilah bahwa kehancuran umat terdahulu adalah karena mereka tidak
menegakkan hukum dengan adil. Jika yang mencuri – berperkara – dari golongan
kuat dan terpandang, mereka membiarkannya. Namun jika yang mencuri itu orang
yang tidak punya, mereka secara tegas menegakkan hukumnya. Demi Allah, jika
Fatimah putri Muhammad – anak beliau sendiri – mencuri, pasti saya potong
tangannya.” (HR Bukhari)
Ketujuh, teladan dari para pemimpin. Orangtua dulu pernah berpesan
,“Jangan menyapu lantai, ketika masih membersihkan atap“. Bisa jadi pesan
inilah yang perlu diamalkan oleh pemerintah kita. Pesan ini yang mungkin pas
dengan watak masyarakat Indonesia yang masih cenderung paternalistik, menuntut
pemberantasan korupsi dimulai dari atas. Kalau pemimpinnya memiliki keberanian
dan kesungguhan untuk itu, saya yakin, korupsi dapat ditekan atau dikurangi,
bahkan dihilangkan. Ini juga sejalan dengan pepatah bijak yang artinya “manusia
itu mengikuti agama pemimpin mereka”. Jika pemimpinnya bersih, yang dipimpin
juga akan bersih atau setidaknya dapat diharapkan untuk menjadi bersih.
Khalifah Umar Bin Abdul Aziz pernah memberikan teladan yang sangat baik sekali
ketika beliau pernah mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat
menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut
pautnya dengan urusan negara.
Kedelapan, kesadaran kolektif dan
kontrol publik.
Bagaimanapun juga, harus ada kesadaran kolektif seluruh rakyat negeri ini
mengenai pemberantasan korupsi, karena penyakit ini sudah mewabah dengan hebat.
Tidak cukup kesadaran ini hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Demikian
pula, masyarakat harus secara aktif dan terus-menerus mengontrol para pejabat
agar tidak melakukan korupsi. Dalam hal ini, peran media sangat penting, tanpa
harus terkotori oleh berbagai manipulasi dan akrobat politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar