Faktor
dan Syarat Menggunakan Takwil Dalam Memahami Al-Qur’an
Dalam
Perspektif Muhammad Imarah
Wisnu
Wahyudin
4715101543

A.PENDAHULUAN
Al-Qur’an
sebagai kitab suci serta sebagai pedoman bagi umat Islam menjadi sumber utama
dan rujukan dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang mendera kaum muslimin.
Oleh karena itu, banyak orang yang mempelajari dan menelaah secara mendalam
untuk memahami isi Al-Qur’an tersebut. Banyak orang yang terkecoh pada saat
memaknai suatu ayat, yang seharusnya memiliki makna kontekstual dijadikan
sebagai ayat yang bersifat tekstual, begitu juga sebaliknya. Bahkan banyak ayat
yang masih menjadi tanda tanya bagi sebagian orang sehingga membutuhkan
metode-meotde untuk menyingkap kandungan ayat tersebut, salah satunya adalah
dengan menggunakan metode takwil. Namun tidak semua ayat harus ditakwil sebagai
mana metode yang digunakan orang arab dalam memaknai bible (hermeneutika)[1]. Tidak sembarang orang bisa menakwilkan Al-Qur’an.
Dalam pembahasan kali ini, akan
dijelaskan tentang Takwil, metode dan syarat serta factor menggunakan takwil
dalam perspektif Muhammad Imarah seperti yang dipaparkan dalam kitab asli karangan
Muhammad Imarah dalam kitab Al ghulu al Diin wala al Dii.
Pembahasan kali ini bertujuan agar
pembaca dapat memahami factor dan syarat untuk menggunakan emtode takwil dan
juga dapat membedakan antara metode takwil dengan hermeneutika.
B.PEMBAHASAN
1. PengertianTakwil
a.
Secarabahasa
(etimologis)
Secaralughowi (etimologis) ta’wil berasal dari kata al-awl(أوّل
– يؤوّل ), artinya
kembali; atau dari kata al ma’al artinya tempat kembali; al- iyalah yang
berarti al –siyasah yang berarti mengatur.
Muhammad husaya
al-dzahabi , mengemukakan bahwa dalam pandangan ulama salaf (klasik), ta’wil
memilki dua pengertian :
Pertama :
penafsirkan suatu pembicaraan teks dan menerangkan maknanya, tanpa
mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan apa yang
tersurat atau tidak.
Kedua : ta’wil
adalah substansi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan itu sendiri (nafs al-
murad bi al-kalam). Jika pembicaraan itu berupa tuntutan , maka tak’wilnya
adalah perbuatan yang dituntut itu sendiri. Dan jika pembicaraan itu berbentuk
berita. Maka yang dimaksud adalah substansi dari suatu yang di informasikan.
Sedangkan
pengertian Ta’wil, menurut sebagian ulama, sama dengan Tafsir. Namun ulama yang
lain membedakannya, bahwa ta’wil adalah mengalihkan makna sebuah lafazh ayat ke
makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal
[As-Suyuthi, 1979: I, 173]. Sehubungan dengan itu, Asy-Syathibi [t.t.: 100]
mengharuskan adanya dua syarat untuk melakukan penta’wilan, yaitu:
Makna yang
dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam
bidangnya [tidak bertentangan dengan syara’/akal sehat],
Makna yang dipilih sudah dikenal di kalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Alquran].
Makna yang dipilih sudah dikenal di kalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Alquran].
b.
Secaraistilah
(terminologi)
Secaraterminologi, Ulama Salaf
mendefinisikan takwil sebagai berikut:
a.Imam Al-Ghazali
dalam Kitab Al-Mutashfa[2]
“Sesungguhnya takwil itu dalah ungkapan
tentang pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung
oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh
lafazh zahir.”
b.Imam Al-Amudi
dalam kitab Al-Mustasfa[3]
“Membawa makna lafazh zohir yang memunyai
ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”.
Kaum muhadditsin mendefinisikan takwil,
sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh, yaitu:
Menurut Wahab Khalaf takwil yaitu “memalingkan
lafazh dari zahirnya, karena adanya dalil.”
Menurut Abu Zahra takwil adalah mengeluarkan
lafazh dari artinya yang zahir kepada makna yang lain, tetapi bukan zahirnya
Dari pengertian kedua istilah ini dapat
disimpulkan, bahwa Tafsir adalah penjelasan terhadap makna lahiriah dari ayat
Alquran yang penegrtiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki oleh
Allah; sedangkan ta’wil adalah pengertian yang tersirat yang diistimbathkan dari
ayat Alquran berdasarkan alasan-alasan tertentu.
2. MetodeTakwilDalamMemahami Al-Qur’an
a. Takwil dalam Al-Qur’an
Dalam al-Qur'an,
takwil berarti penafsiran dengan mendapatkan esensi, hakikat, inti dan rujukan
serta berbagai hasil. Metode analisa silam membedakan antara sifat yang mutlak dan
nisbi. Yang mutlak adalah dzat Tuhan sedangkan manusia beserta sifat-sifatnya
digolongkan nisbi. Dalam Islam, akal manusia dapat mengetahui yang esensi,
inti, hasil ilmu dan pengetahuan serta mengetahui dunia yang empiris. Oleh
karena itu, terbuka lebar bagi mereka yang memiliki pengetahuan untuk
menakwilkan ayat-ayat Qur'an yang mutasyabih yang berhubungan dengan
tanda-tanda, pengetahuan, hukum dunia nyata dan empiris. karena sebagian
ayat-ayat mutasyabih dalam al-Qur'an dapat diketahui oleh mereka yang berilmu
sedangkan sebagian yang lain tidak dapat diketahui, maka muncullah perbedaan
antara mufassir mengenai ayat mutasyabihat. Sebagaimana Allah
berfirmanpada ayat:
uqèdü“Ï%©!$#tAt“Rr&y7ø‹n=tã|=»tGÅ3ø9$#çm÷ZÏB×M»tƒ#uäìM»yJs3øt’C£`èd‘Pé&É=»tGÅ3ø9$#ãyzé&ur×M»ygÎ7»t±tFãB($¨Br'sùtûïÏ%©!$#’ÎûóOÎgÎ/qè=è%Ô÷÷ƒy—tbqãèÎ6®KuŠsù$tBtmt7»t±s?çm÷ZÏBuä!$tóÏGö/$#ÏpuZ÷GÏÿø9$#uä!$tóÏGö/$#ur¾Ï&Î#ƒÍrù's?3$tBurãNn=÷ètƒÿ¼ã&s#ƒÍrù's?žwÎ)ª!$#3tbqã‚Å™º§9$#ur’ÎûÉOù=Ïèø9$#tbqä9qà)tƒ$¨ZtB#uä¾ÏmÎ/@@ä.ô`ÏiBωZÏã$uZÎn/u‘3$tBurã©.¤‹tƒHwÎ)(#qä9'ré&É=»t6ø9F{$#ÇÐÈ
7. Dia-lah yang
menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat
yang muhkamaat, Itulah
pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah
untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya
melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan
kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan
orang-orang yang berakal.(QS. Ali ‘Imron [03] : 7)
b. Takwil Dalam Hadist
Dalam konteks sunnah Nabawiyah,
ta’wil semakna dengan tafsir. Cukup banyak hadis Nabi yang ditakwilkan,
diantaranya hadist yang diriwayatkan oleh
Aisyah r.a berbunyi :
فلقد كان رسولالله صلى الله عليه وسلم في ركوعه وسجوده : سبحانك اللهم ربنا وبحمد ك . اللهم اغفرلي , يتأول القران اي يتأول ويفسرقول الله سبحانه : (فسبح بحمد ربك واستغفره) (النصر:3))رواه البخا رى وابوداود والنسائ وابن ماجه والامام احمد(
Sungguh
Rasulullah saw menyebutkan dalam ruku‟ dan sujudnya: subha>naka alla humma
rabbana wabihamdika alla hummagfirliy,
beliau menta‟wil al-Qur‟an yakni mentakwilkan dan menafsirkan firman Allah swt
yang termaktub dalam QS. An-Nashr: 3 (fasabbih bihamdi rabbika wastagfirhu).
HR. Bukhari, Abu Daud, An-Nasai, Ibnu Majah dan Imam Ahmad.
c.
TakwilEtimoligatif
Sebagai perluasan makna terminologi takwil
dalam al-Qur'an dan hadis, beberapa makna takwil muncul dalam kamus. Dalam
Lisan al-Arab oleh Ibn Manzur (630-711 H/ 1233-1311 M), kita temukan takwil
diartikan dengan mengetahui sumber dan hasil. Kalimat yang tidak dapat dipahami
secara tekstual memerlukan dalil yang dapat membuka makna tersirat di atas
makna tersurat teks tersebut. Takwil adalah memindah makna lahiriyah teks dari
makna asli kepada makna yang membutuhkan dalil yang seandainya tidak ada dalil
tersebut, maka makna lahiryah teks tidak akan ditinggalkan.
d.
Takwil Terminologitatif
Takwil secara terminologi menurut Raghib
al-Ashfahani(502 H/1108 M) adalah kembali ke asal dan mengembalikan sesuatu
pada tujuan akhir yang diinginkan, baik pengetahuan atau pun perbuatan. Dan
contoh Ta‟wil dalam bentuk pengetahuan adalah firman Allah “wama ya’lamu ta’wilahu illallah warrasikhuna fil ‘ilmi”.
Sedangkan ta‟wil secara terminologi menurut
Al-Jurjani (740-817 H/1077-1143 M) menyebutkan bahwa ta‟wil adalah memalingkan
lafaz dari makna zhahir kepada makna yang muhtamal (potensi makna lain) apabila
makna muhtamal ini tidak berlawanan dengan al-Qur‟an dan al-Hadits. Misalnya
dalam firman Allah QS Al-An‟am ayat 95:
Dari segi tafsir makna ayat ini
adalah Jika Allah berkehendak, maka Ia mengeluarkan burung dari dalam telur.Sedangkan
dari segi ta‟wilnya, maka maknanya: Jika Allah menghendaki, maka Ia
mengeluarkan orang-orang mukmin dari orang-orang kafir atau mengeluarkan
orang-orang „alim dari orang-orang bodoh.
Sedangkan takwil dalam perspektif
Tahawuni secara etimologi berarti kembali. Dan pandangan ahli Ushul, sebagian
menyatakan sama dengan tafsir. Sebagian lain mengatakan takwil adalah masih
dalam taraf dugaan, sedangkan tafsir dalam taraf keyakinan.
Para ulama yang telah membuat
beberapa ensiklopedi dalam berbagai terminologi Islam telah menetapkan bahwa
takwil yang benar memiliki beberapa syarat, yakni makna yang makna teks harus
masih memungkinkan bermakna lain, sesuai dengan logika pembentukan bahasa,
sesuai dengan ayat-ayat muhkam dan hadis mutawatir, bahwa takwil hanyalah
sebuah upaya di bawah maksud penulis, mengalihkan lafal kepada makna yang
terkalahkan menggantikan makna yang unggul disyaratkan adanya dalil yang
menguatkan makna terkalahkan, bahwa takwil harus terus mengikuti lingkup makna yang
dikandung lafal. Takwil adalah mengarahkan kata kepada salah satu makna yang
dimuat terkandung dalam lafal. Selain itu, mereka juga mensyaratkan keilmuan
yang menyeluruh bagi mereka yang menakwilkan.
e.
Dalam penafsiran
Al-Qur’an
Takwil tidak diterapkan pada ayat
muhkam, baik Qur'an dan sunnah. Sedangkan ayat dan hadis yang masih mutasyabih
masih terdapat perbedaan, yang dikembalikan kepada dasar-dasar yang pasti.
Para mufassir telah memaparkan
penakwilan mereka. Mereka hampir sepakat akan kebolehan takwil bagi mereka yang
mengetahui teks ternukil dan teks ternalar. Dan bahwa sebagian ayat-ayat
mutasyabih hanya dapat diketahui maksudnya oleh Allah. pengetahuan orang-orang
yang berilmu hanyalah dinisbatkan pada maksud tersebut. Sebagian ayat-ayat
mutasyabih yang berhubungan dengan alam, ayat-ayat kauniyah, pensyarai'atan dan
hukum syari'at dapat diketahui oleh orang-orang yang berilmu melalui kata-kata
yang diberikan Allah dalam ayat-ayat mutasyabih dan berbagai petunjuk yang
terdapat dalam ayat muhkamat.
Yang dimaksud mutasyabih di sini
adalah hal-hal yang diinginkan yang diisyaratkan Allah mencakup masalah-masalah
akhirat dan lafal-lafal makna lahirnya berbeda dengan makna yang dimaksud.
Keberadaan mutasyabih pada masalah akhirat dalam al-Qur'an tidak dapat
dipungkiri, karena di antara rukun agama dan tujuan wahyu adalah mengkhabarkan
keberadaan akhirat. Penakwilan yang banyak dilakukan mencakup lafal-lafal yang
makna lahirnya berbeda dengan yang dimaksudkan.
Yang dimaksud orang yang berilmu di
sini adalah orang-orang yang mengetahui sampai ke akar permasalahan dan dapat
menempatkan penakwilan dengan baik.
3. Faktor Penyebab
Takwil Diperlukan
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam, didalamnya terdapat ayat-ayat muhkamat
yang perlu dimaknai secara tekstual dan juga terdapat ayat-ayat mutasyabihaat.
Berikut adalah perbedaan antara ayat muhkamat dan mutasayabihat :
1. ayat-ayat muhkamat, yakni maknanya jelas atau tegas.
Disebut juga bermakna lahir yaitu jelas menunjukkan ke suatu pengertian
tertentu dan tidak mengundang keraguan. Jadi tidak dibutuhkan takwil atau pun
penafsiran untuk memahaminya, sebab sudah cukup jelas makna dan tujuannya.
2. ayat-ayat mutasyabihat, yakni maknanya samar atau
tidak jelas. Disebut juga bermakna batin, ialah apa yang dimaksud oleh Allah
SWT dalam firmannya. Makna ayat mutasyabihat seringkah tidak dapat dipahami
secara pasti oleh akal manusia, sehingga sering disalahgunakan oleh orang-orang
tertentu untuk mencari keuntungan pribadi. Bahkan oleh musuh-musuh Islam,
ayat-ayat ini dipakai untuk memutar-balikkan atau merusak ajaran Islam yang
sebenarnya.
Hikmah diturunkannya ayat-ayat
mutasyabihat (antara lain AlifLaam Miim) salah satu bukti bahwa Al-Qur’an ini
bukan karya Nabi Muhammad saw. Dan ayat-ayat mutasyabihat ini memang sebagai
tolok ukur kedalaman keimanan seseorang.
Faktor tersebutlah
yang melatarbelakangi tidaks emua ayat di dalam Al-Qur’an dapat kitamaknai secara
lafdziah saja, tetapi ada juga ayat-ayat yang perlu ditakwil artinya.
4. Syarat Dan Aturan MengguanakanTakwil
Imam Ghazali(450-505 H/1058-1111 M)
adalah orang pertama yang membuat aturan pasti dan terperinci bagi takwil dalam
Islam. Ia mengungkapkan posisi mayoritas filosof dan teolog Islam terhadap
takwil, tanpa mengecualikan antara golongan batiniah ataupun zahiriyah. Berikut
pemaparan al-Gazali:
1.
Tidak ada tokoh Islam yang tidak memerlukan takwil,
hingga mereka yang tidak menekuni analisa secara rasional, seperti Ahmad bin
Hambal yang telah menakwilkan tiga Hadits saja. Diantaranya :
2.
Tidaklah mudah membedakan sesuatu yang dapat
ditakwilkan dan yang tidak dapat ditakwilkan, bahkan hanya dapat dilakukan oleh
orang yang mahir, cemerlang dalam ilmu bahasa, mengetahui dasar-dasar bahasa,
tradisi orang Arab dalam penggunaan bahasa serta metode dalam membuat
perumpaan.
3.
Beberapa kelompok Islam telah sepakat bahwa penakwilan
hanya diperbolehkan ketika memiliki dalil akan kemustahilan menggunakan makna
lahir. Makna lahiriyah pertama adalah makna asli.
4.
Mereka sepakat bahwa jika dalil tersebut telah pasti,
maka diberikan keringanan diberikan untuk penakwilan, meskipun menggunakan
makna jauh. Jika belum pasti maka tidak diberikan keringanan
kecuali hanya pada penakwilan makna dekat yang memudahkan pemahaman.
5.
mereka sepakat bahwa tingkatan yang diterima hanya
lima, yaitu wujud dzati, hissi, khayali, aqliy, syibhi, yang menjadi tingkatan
dalam penakwilan.
6.
Para penakwil dikelompokkan menjadi dua tingkat.
Tingkatan awam dan tingkatan analis.
7.
Mereka yang menakwilkan tanpa dalil dalam
masing-masing tingkatan belum tentu dianggap kufur. Tergantung apakah
penakwilannya berkaitan dengan permasalahan akidah atau tidak. Dan akan
dianggap kafir ketika berkaitan dengan masalah akidah.
8.
Sebuah makna yang bertentangan terkadang bertentangan
dengan makna mutawatir dan dianggap sebagai makna yang ditakwilkan, akan tetapi
disebutkan sebagai sebuah penakwilan yang tidak memiliki dasar bahasa, maka
dianggap kufur dan orang yang melakukannya berdosa, meskipun ia menyangka bahwa
makna itu adalah makna yang ditakwilkan.
9.
Jika seseorang mengingkari makna yang ditetapkan
berdasarkan hadis ahad, maka tidaklah dianggap kafir. Jika ditetapkan
berdasarkan ijma', maka dipertimbangkan terelbih dahulu.
Sedangkan Ibn Rusyd menekankan bahwa
takwil diperbolehkan dalam sebagian teks-teks syara'. Bagi Ibn Rusyd, yang
dimaksud takwil yang dilakukan berdasarkan ketentuan takwil Arab adalah
menggabungkan antara makna yang ternalar dan makna ternukil, bukan menempatkan
makna ternalar menggantikan makna ternukil. Pendapat Ibn Rusyd tentang takwil
secara ringkas adalah sebagai berikut[4] :
1. Takwil diperbolehkan
2. Hanya pada makna yang memiliki
dalil kemustahilan penggunaan makna lahir.
3. Sesuai dengan persyaratan majaz,
yang mengeluarkan petunjuk makna kata-kata dari hakikat menjadi majaz.
4. Tidak ada kesepakatan ijma' yang diyakini
bahwa yang dimaksudkanadalah makna lahiriyah.
5. adanya dukungan petunjuk makna
lahiriyah dari beberapa teks yang menguatkan penakwilan
6. Bertujuan menggabungkan antara
yang ternalar dan ternukil, bukan membenturkan keduanya, melampaui salah satu
ataupun menafikannya.
7.Takwil berlaku hanya untuk kalangan
khusus yang berilmu. Tidak diperbolehkan bagi kalangan umum. Tidak boleh
dituliskan dalam buku-buku umum, kecuali jika penakwilannya telah benar-benar
valid memenuhi syara-syarat dan ketentuan takwil.
8. Tentang alam gaib, mukjizat,
dasar-dasar syari'ah, dan segala yang tidak mampu diketahui hanya dengan akal
manusia untuk dapat mengetahui essensinya. Ibn Rusyd mengharuskan mengambil
makna lahiriyah, tidak ditakwilkan.
9. Berita tentang yang gaib dan
dasar-dasar syari'ah serta mukjizat tidak boleh ditakwilkan, meskipun oleh para
filosof.
Para ulama setelah mereka ketika
menggunakan takwil ketakwaannya menjadi berkurang, banyak bertentangan, semakin
terpisah-pisah, itu adalah suatu kesalahan. Takwil seharusnya
memperkuat keimanan bukan sebaliknya..
5. Pendapat M
‘ImarahTentangPemahaman Al-Qur’an denganTakwil
Musthafa
Al-Kaylani menjelaskan proses perjalanan transformasi dalam sejarah perjalanan
takwil:
“dahulu
takwil pada awalnya sangat kental bernuansa gramatikal, sebatas penjelasan
lafadz dan susunan kalimat yang abru sambil tetap menjaga maknanya yang cocok
untuk setiap zaman, sedangkan dalam peradaban barat modern, telah jauh merasuk
ke dalam metaphor (majaz)”[5]
Banyak
para ilmuan muslim dan mufassirin yang beranggapan bahwa metode takwil yang
digunakan didalam Al-Qur’an untuk memahami isi Al-Qur’an sama dengan metode
hermeneutika yang digunakan oleh orang-orang barat untuk memahami bible.
Muhammad Imarah membedakan takwil dengan hermeneutikia sebagai berikut[6]
:
1.
Takwil
mengakui dan tunduk kepada kesucian teks dan keilahian sumbernya, sedangkan
hermeneutika memperlakukian teks sebagai murni fenomena bahasa dan tidak
mengakui kesucian yang menuntut untuk diperlakukan khusus
2.
Takwil
mengakui jenis tingkatan lafadz, (ada yang bisa menerima takwil / zhahir dan
ada yang tidak bias menerima takwil / lahir ), sedangkan hermeneutika barat
memukul rata semua jenis teks dengan memisahkan mana yang menjadi makna tanda /
signifier dan mana yang menjadi makna tujuan / significance
3.
Takwil
membutuhkan dalil yang mengharuskan suatu lafadz ditakwil dan makna baru
tersebut masih bias diterima oleh lafazh zhahirnya, sedangkan hermeneutika
adalah perpindahan makna orientasi dari makna ke pemahaman. Pehaman adalah apa yang
diinginkan / dimaksud sipembaca bukan apa yang dimaksudkan oleh penulis dan
pengarang. Pemahaman tidak pernah bersifat final karena selalu memperhatikan
dimensi realitas kemanusiaan yang berubah-ubah sesuai dengan keinginan si
pembaca.
4.
Takwil adalah
cara untuk mempertahankan norma keimanan terhadap dasar-dasar keyakinan
beragama. Takwil bukan alat untuk membatalakan keimanan atau mengkosongkan teks
agama dari ruh agama, bersebelahan dengan hermeneutika.
Jadi
perbedaan antara takwil dengan hermeneutika sangatlah terlihat jelas pada
pemaparan diatas, metode hermeneutika yang digunakan dalam memahami bible tidak
cocok untuk digunakan didalam Al-Qur’an.
6.
AnalisisKomparatif
Tidak
semua orang dapat menggunakan takwil. Dan takwil juga tidak bias diartikan sebagai
main-main. hanya apabila telah memenuhi syaratlah yang dapat menggunakan
takwil. Takwil berbeda dengan hermeneutika yang digunakan oleh orang barat
modern.
C. PENUTUP
Kesimpulan
Dalam
pembahasan diatas, dapat kita ketahui Al-Qur’ans ebagai petunjuk hidup umat
Islam perlu untuk dipahami secara mendalam, salah satunya dalah menggunakan
takwil. Ketika ada suatu lafazh yang apabila ditafsirkan masih terdapat
kerancuan/kebingungan dalam memahami ayat, maka takwil bisa digunakan sebagai
solusi untuk memalingkan suatu lafazh ke lafazh yang lainnya. Takwil berbeda
dengan hermeneutika.
Saran
Tulisan ini
sangat jauh dari kesempurnaan dan kebenaran. oleh karena itu perlu dikaji lagi
secara mendalam khususnya dibagian perbedaan takwil dan hermeneutika secara mendetail.
Daftar
Pustaka
M Immarah,
maqoolah al-ghuluw ad diin wala al diin, maktabah syuruqidaulah Kairo : 2004
Saifullah
dkk, Ulumul Qur'an, prodia pratama sejati : 2004
prof. Dr.
Rachmat Syafe'i, M.A, Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia : 2007
Musthafa al-kaylan,
Wujud al nash wan ash al wujud (dar al-tunisuyah li al nasyr, 1922)
[2] Lihat di
Al-Ghazali, 1973:128
[3] Al-amidi,
III/37, Asy Syaukani, hlm 126
[5] Wujud al nash wan ash al wujud (dar
al-tunisuyah li al nasyr, 1922) hlm 34
Untuk sampai kepada takwil yang benar membutuhkan?
BalasHapusa. Akal
b. Pendapat
c. Ra'yu
d. Ijtihat
e. Ijma'
Fikih kelas 12 wkwk
HapusA juga
HapusP
BalasHapusA. Akal
BalasHapusBnr kah?
Hapus